Periode
I dan II:
·
Prawacana dan
Pengenalan (sebelum 1960-1970-an)
Pada
periode ini pembicaraan tentang bimbingan dan konseling sudah dimulai, terutama
oleh para pendidik yang pernah mempelajarinya diluar negeri. Periode ini
berpuncak dengan dibukanya Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan pada tahun 1963 di
IKIP Bandung (sekarang namanya UPI). Pembukaan ini menandai dimulainya periode
kedua yang secara tidak langsung memperkenalakan pelayanan BP pada masyarakat
akademik, dan pendidik. Sukses periode kedua in ditandai dengan dua
keberhasilan, yang diluluskannya sejumlah sarjana BP, dan semakin dipahami dan
dirasakan kebutuhan akan pelayanan tersebut.
Periode
III:
·
Pemasyarakatan
(1970-1990 an)
Pada
periode ini diberlakunya kurikulum 1975 untuk Sekolah Dasar sampai Sekolah
Menengah Tingkat Atas. Kurikulum ini secara resmi mengintegrasikan ke dalamnya
layanan BP untuk siswa. Pada tahun ini terbentuk organisasi profesi BP dengan
nama IPBI (Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia). Pada periode ketiga ini
ditandai juga dengan pemberlakuan kurikulum 1984. Dalam kurikulum 1984 ini,
pelayanan BP difokuskan pada bidang bimbingan karir. Dan pada periode ini
muncul beberapa permasalahan, seperti: (1) berkembangnya pemahaman yang keliru,
yaitu mengidentikan Bimbingan karir dengan
Bimbingan Penyuluhan. (2) kerancuan dalam mengimlementasikan SK Menpan
No 26/Menpan/1989 terhadap penyelenggaraan layanan bimbingan di sekolah. Dalam
SK tersebut terimplikasi bahwa semua guru dapat diserahi tugas melaksanakan
pelayanan BP. Akibatnya pelayanan BP menjadi kabur, baik pemahaman maupun
implementasinya.
Periode
IV:
·
Konsolidasi (1990-2000)
Pada
periode ini IPBI berusaha keras untuk mengubah kebijakan bahwa pelayanan BP itu
dapat dilaksanakan oleh semua guru (seperti terjadi pada periode ke empat di
atas). Pada periode ini ditandai oleh (1) diubahnya secara resmi kata
penyuluhan menjadi konseling. (2) pelayanan BK di sekolah hanya dilaksanakan
oleh guru pembimbing yang secara khusus ditugasi untuk itu. (3) mulai
diselenggarakan penataran (nasional dan daerah) untuk guru-guru pembimbing. (4)
mulai adanya formasi untuk pengangkatan menjadi guru pembimbing. (5) pola
pelayanan BK di sekolah dikemas dalam BK Pola 17, dan (6) dalam bidang
kepengawasan sekolah dibentuk kepengawasan bidang BK. (7) dikembangkannya
sejumlah panduan pelayanan BK di sekolah yang lebih operasional oleh IPBI.
Periode
V:
·
Lepas Landas
Semula
diharapkan periode konsolidasi akan dapat mencapai hasil-hasil yang memadai,
sehingga mulai pada tahun 2001 profesi BK di Indonesia sudah dapat tinggal
landas. Namun kenyataan menunjukkan bahwa masih ada permasalahan yang belum
terkonsilidasi, yang berkenaan dengan sumber daya manusia (SDM). Kelemahannya
berakar dari kondisi untrained, undertrained, dan uncommitted para pelaksana
layanan. Walaupun begitu pada tahun-tahun setelah masa konsolidasi terdapat
beberapa peristiwa yang dapat dijadikan tonggak bagi pengembangan profesi
konseling menuju era lepas landas, yaitu: (1) penggantian nama organisasi
profesi dari IPBI menjadi ABKIN (Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia),
(2) lahirnya undang-undang No 20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional,
yang dimuat di dalamnya ketentuan bahwa konselor termasuk salah satu jenis
tenaga pendidik (bab1 ayat 4). (3) kerjasama pengurus besar ABKIN dengan dikti
Depdiknas tentang standarisasi profesi konseling. (4) kerjasama ABKIN dengan
direktorat PLP dalam merumuskan kompetensi guru pembimbing (konselor) SMP dan
sekaligus memberikan pelatihan kepada mereka.
Dalam
usaha untuk lebih memantapkan atau memajukan dan Konseling sebagai suatu
profesi, saat ini telah banyak kegiatan yang dilakukan baik yang berupa
seminar, lokakarya ataupun penerbitan buku dan jurnal. Pada bulan Desember 2003
ABKIN telah menyelenggarakan Konvensi Nasional XIII yang diisi dengan
kegiatan-kegiatan seminar dan lokakarya (Semiloka) yang bertemakan “Profesi
Bimbingan dan Konseling Indonesia Menuju ke arah Standar Internasional”. Para
pembicara pada seminar ini di samping berasal dari para pengurus ABKIN dan para
pakar Bimbingan dari Negeri juga berasal dari luar negeri. Yaitu dari Jepang
(Prof. Toshinori Ishikuma) dan Malaysia (Prof. Dr. Wan Kader Wan Ahmad). Selain
itu, di setiap kota atau kabupaten yang ada guru pembimbingnya telah dibentuk
organisasi MGBK yaitu Musyawaroh Guru Bimbingan dan konseling, baik di tingkat
SLTP ataupun SLTA.
Dalam
penyelenggaraan program Bimbingan dan Konseling pada saat ini masih ada
beberapa persoalan, antara lain adalah:
a. Masih
terdapat kesenjangan rasio konselor (guru pembimbing) dengan jumlah sekolah dan
jumlah peserta didik di setiap jenjang pendidikan, bahkan di sekolah dasar (SD)
atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) belum ada pengangkatan khusus seorang konselor.
b. Dampak
dari kesenjangan antara jumlah konselor dengan jumlah sekolah, atau jumlah
peserta didik adalah:
1) Di
sekolah tertentu tidak ada guru pembimbing.
2) Di
sekolah-sekolah tertentu ada guru pembimbingnya meskipun tidak seimbang dengan
banyaknya siswa.
3) Untuk
menutupi kekurangan guru pembimbing, tidak jarang kepala sekolah mengangkat
guru-guru mata pelajaran(yang jam mengajarnya kurang) menjadi guru pembimbing.
c. Pengangkatan
guru mata pelajaran menjadi guru pembimbing, disatu sisi memberikan impresi
positif bagi penyelenggaraan program BK di sekolah, karena ada kepedulian
kepada sekolah terhadap program BK. Akan tetapi di sisi lain juga berdampak
negative bagi profesi pembimbing, yaitu melahirkan citra buruk bagi profesi
bimbingan dan konseling itu sendiri. Karena ditangani oleh orang-orang yang
tidak memiliki keahlian dalam bidang BK.
d. Walaupun
bimbingan konseling dipandang sebagai kegiatan yang professional, akan tetapi
secara hokum belum terproteksi oleh standar kode etik yang kokoh, yang
memberikan jaminan bahwa hanya lulusan pendidikan konselor lah yang bisa
mengemban tugas atau memberikan layanan bimbingan dan konseling.
e. Popularitas
Bimbingan dan Konseling masih terbatas di dalam kalangan tertentu, di
lingkungan (sekolah) yang sudah akrab dan apresiasi terhadap BK, akan tetapi
ada juga di kalangan sekolah yang belum memahami secara tepat dan bahkan
menaruh citra negative terhadap BK.
f. Masih
ada juga kepala sekolah yang belum memahami secara tepat program BK di sekolah,
sehingga mereka memberikan tugas kepada guru pembimbing (konselor) yang
mismatch, tidak profesiona, tidak sesuai dengan peran yang sebenarnya.
g. Citra
BK semakin terpuruk dengan adanya guru pembimbing yang kinerjanya tidak
professional, dan mereka masih lemah dalam hal:
1. Memahami
konsep-konsep bimbingan secara komperehensif.
2. Menyusun
program bimbingan dan konseling
3. Mengimplementasikan
teknik-teknik BK.
4. Kemampuan
berkolaborasi dengan kepala sekolah atau guru mata pelajaran.
5. Mengelola
BK.
6. Mengevaluasi
BK dan melakukan tindak lanjut untuk perbaikan atau pengembangan program.
7. Penampilan
kwalitas pribadinya, yaitu mereka masih dinilai kurang percaya diri, kurang
ramah, kurang kreati, kurang kooperatif dan kolaboratif
h. LPTK
yang menyelenggarakan pendidikan bagi calon guru pembimbing masih belum
memiliki kurikulum yang bagus untuk melahirkan konselor-konselor professional.
ini diambil dari mana ya bukunya?
BalasHapus