Sabtu, 09 Desember 2017

Periodesasi Pergerakan Bimbingan dan Konseling di Indonesia

Periode I dan II:
·         Prawacana dan Pengenalan (sebelum 1960-1970-an)
Pada periode ini pembicaraan tentang bimbingan dan konseling sudah dimulai, terutama oleh para pendidik yang pernah mempelajarinya diluar negeri. Periode ini berpuncak dengan dibukanya Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan pada tahun 1963 di IKIP Bandung (sekarang namanya UPI). Pembukaan ini menandai dimulainya periode kedua yang secara tidak langsung memperkenalakan pelayanan BP pada masyarakat akademik, dan pendidik. Sukses periode kedua in ditandai dengan dua keberhasilan, yang diluluskannya sejumlah sarjana BP, dan semakin dipahami dan dirasakan kebutuhan akan pelayanan tersebut.
Periode III:
·         Pemasyarakatan (1970-1990 an)
Pada periode ini diberlakunya kurikulum 1975 untuk Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Tingkat Atas. Kurikulum ini secara resmi mengintegrasikan ke dalamnya layanan BP untuk siswa. Pada tahun ini terbentuk organisasi profesi BP dengan nama IPBI (Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia). Pada periode ketiga ini ditandai juga dengan pemberlakuan kurikulum 1984. Dalam kurikulum 1984 ini, pelayanan BP difokuskan pada bidang bimbingan karir. Dan pada periode ini muncul beberapa permasalahan, seperti: (1) berkembangnya pemahaman yang keliru, yaitu mengidentikan Bimbingan karir dengan  Bimbingan Penyuluhan. (2) kerancuan dalam mengimlementasikan SK Menpan No 26/Menpan/1989 terhadap penyelenggaraan layanan bimbingan di sekolah. Dalam SK tersebut terimplikasi bahwa semua guru dapat diserahi tugas melaksanakan pelayanan BP. Akibatnya pelayanan BP menjadi kabur, baik pemahaman maupun implementasinya.
Periode IV:
·         Konsolidasi (1990-2000)
Pada periode ini IPBI berusaha keras untuk mengubah kebijakan bahwa pelayanan BP itu dapat dilaksanakan oleh semua guru (seperti terjadi pada periode ke empat di atas). Pada periode ini ditandai oleh (1) diubahnya secara resmi kata penyuluhan menjadi konseling. (2) pelayanan BK di sekolah hanya dilaksanakan oleh guru pembimbing yang secara khusus ditugasi untuk itu. (3) mulai diselenggarakan penataran (nasional dan daerah) untuk guru-guru pembimbing. (4) mulai adanya formasi untuk pengangkatan menjadi guru pembimbing. (5) pola pelayanan BK di sekolah dikemas dalam BK Pola 17, dan (6) dalam bidang kepengawasan sekolah dibentuk kepengawasan bidang BK. (7) dikembangkannya sejumlah panduan pelayanan BK di sekolah yang lebih operasional oleh IPBI.

Periode V:
·         Lepas Landas
Semula diharapkan periode konsolidasi akan dapat mencapai hasil-hasil yang memadai, sehingga mulai pada tahun 2001 profesi BK di Indonesia sudah dapat tinggal landas. Namun kenyataan menunjukkan bahwa masih ada permasalahan yang belum terkonsilidasi, yang berkenaan dengan sumber daya manusia (SDM). Kelemahannya berakar dari kondisi untrained, undertrained, dan uncommitted para pelaksana layanan. Walaupun begitu pada tahun-tahun setelah masa konsolidasi terdapat beberapa peristiwa yang dapat dijadikan tonggak bagi pengembangan profesi konseling menuju era lepas landas, yaitu: (1) penggantian nama organisasi profesi dari IPBI menjadi ABKIN (Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia), (2) lahirnya undang-undang No 20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional, yang dimuat di dalamnya ketentuan bahwa konselor termasuk salah satu jenis tenaga pendidik (bab1 ayat 4). (3) kerjasama pengurus besar ABKIN dengan dikti Depdiknas tentang standarisasi profesi konseling. (4) kerjasama ABKIN dengan direktorat PLP dalam merumuskan kompetensi guru pembimbing (konselor) SMP dan sekaligus memberikan pelatihan kepada mereka.
Dalam usaha untuk lebih memantapkan atau memajukan dan Konseling sebagai suatu profesi, saat ini telah banyak kegiatan yang dilakukan baik yang berupa seminar, lokakarya ataupun penerbitan buku dan jurnal. Pada bulan Desember 2003 ABKIN telah menyelenggarakan Konvensi Nasional XIII yang diisi dengan kegiatan-kegiatan seminar dan lokakarya (Semiloka) yang bertemakan “Profesi Bimbingan dan Konseling Indonesia Menuju ke arah Standar Internasional”. Para pembicara pada seminar ini di samping berasal dari para pengurus ABKIN dan para pakar Bimbingan dari Negeri juga berasal dari luar negeri. Yaitu dari Jepang (Prof. Toshinori Ishikuma) dan Malaysia (Prof. Dr. Wan Kader Wan Ahmad). Selain itu, di setiap kota atau kabupaten yang ada guru pembimbingnya telah dibentuk organisasi MGBK yaitu Musyawaroh Guru Bimbingan dan konseling, baik di tingkat SLTP ataupun SLTA.
Dalam penyelenggaraan program Bimbingan dan Konseling pada saat ini masih ada beberapa persoalan, antara lain adalah:
a.       Masih terdapat kesenjangan rasio konselor (guru pembimbing) dengan jumlah sekolah dan jumlah peserta didik di setiap jenjang pendidikan, bahkan di sekolah dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) belum ada pengangkatan khusus seorang konselor.
b.      Dampak dari kesenjangan antara jumlah konselor dengan jumlah sekolah, atau jumlah peserta didik adalah:
1)      Di sekolah tertentu tidak ada guru pembimbing.
2)      Di sekolah-sekolah tertentu ada guru pembimbingnya meskipun tidak seimbang dengan banyaknya siswa.
3)      Untuk menutupi kekurangan guru pembimbing, tidak jarang kepala sekolah mengangkat guru-guru mata pelajaran(yang jam mengajarnya kurang) menjadi guru pembimbing.
c.       Pengangkatan guru mata pelajaran menjadi guru pembimbing, disatu sisi memberikan impresi positif bagi penyelenggaraan program BK di sekolah, karena ada kepedulian kepada sekolah terhadap program BK. Akan tetapi di sisi lain juga berdampak negative bagi profesi pembimbing, yaitu melahirkan citra buruk bagi profesi bimbingan dan konseling itu sendiri. Karena ditangani oleh orang-orang yang tidak memiliki keahlian dalam bidang BK.
d.      Walaupun bimbingan konseling dipandang sebagai kegiatan yang professional, akan tetapi secara hokum belum terproteksi oleh standar kode etik yang kokoh, yang memberikan jaminan bahwa hanya lulusan pendidikan konselor lah yang bisa mengemban tugas atau memberikan layanan bimbingan dan konseling.
e.       Popularitas Bimbingan dan Konseling masih terbatas di dalam kalangan tertentu, di lingkungan (sekolah) yang sudah akrab dan apresiasi terhadap BK, akan tetapi ada juga di kalangan sekolah yang belum memahami secara tepat dan bahkan menaruh citra negative terhadap BK.
f.       Masih ada juga kepala sekolah yang belum memahami secara tepat program BK di sekolah, sehingga mereka memberikan tugas kepada guru pembimbing (konselor) yang mismatch, tidak profesiona, tidak sesuai dengan peran yang sebenarnya.
g.      Citra BK semakin terpuruk dengan adanya guru pembimbing yang kinerjanya tidak professional, dan mereka masih lemah dalam hal:
1.      Memahami konsep-konsep bimbingan secara komperehensif.
2.      Menyusun program bimbingan dan konseling
3.      Mengimplementasikan teknik-teknik BK.
4.      Kemampuan berkolaborasi dengan kepala sekolah atau guru mata pelajaran.
5.      Mengelola BK.
6.      Mengevaluasi BK dan melakukan tindak lanjut untuk perbaikan atau pengembangan program.
7.      Penampilan kwalitas pribadinya, yaitu mereka masih dinilai kurang percaya diri, kurang ramah, kurang kreati, kurang kooperatif dan kolaboratif
h.      LPTK yang menyelenggarakan pendidikan bagi calon guru pembimbing masih belum memiliki kurikulum yang bagus untuk melahirkan konselor-konselor professional.

1 komentar:

Resume Buku Struktur Fundamental Pedagogik "The World"

Dengan istilah “dunia” (the world), Freire merujuk kepada realitas budaya. Dunia bukan sebuah realitas yang sudah tersedia sebagaimana real...