Sabtu, 09 Desember 2017

Analisis Cerita Oidipus



A.  Cerita Oidipus
Dalam mitologi, Oidipus adalah seorang anak dari raja Laios dan ratu Lokaste. Sebelum dia lahir, kedua orang tuanya menemui Orakel Delfi. Beliau meramalkan bahwa raja Laios akan dibunuh oleh anaknya sendiri. Maka dari itu Oidipus pun dibuang. Namun ia ditemukan oleh seorang penggembala dan membawanya ke Korinthos untuk dipelihara oleh raja Polibos.
Bertahun-tahun kemudian, seorang pemabuk memberitahu Oidipus bahwa Polibos bukanlah ayah kandungnya. Lalu, dia pergi menemui Orakel. Namun ia tidak memberitahu oidipus mengenai orang tua kandungnya, ia malah memberitahu bahwa Oidipus ditakdirkan untuk membunuh ayahnya dan menikahi ibunya. Akhirnya, Oidipus pun pergi dari Korinthos ke Thebes. Di perjalanan, ia bertemu dengan seorang pria yang mengendarai kereta kuda. Pria itu adalah raja Laios. Laios memerintahkan Oidipus untuk minggir dari jalan agar keretanya dapat lewat, tetapi Oidipus tidak mau menurutinya. Oidipus tidak mengenal Laios saat itu, tetapi keduanya terlibat dalam pertikaian dan berakhir dengan Oidipus membunuh Laios.
Saat ia meneruskan perjalanannya ke Thebes, dia berjumpa dengan Sfinks. Ia menghentikan semua orang yang lewat jalan itu sambil memberinya sebuah teka teki. Lalu oidipus berhasil menjawab teka-teki itu dan berhasil membunuh Sfinks. Akhirnya, Oidipus diangkat menjadi raja Thebes dan juga dinikahkan dengan janda raja Laios, yaitu Lokaste. Mereka mempunyai empat anak: dua laki-laki, Polineikes dan Eteokles dan dua anak perempuan, Antigone dan Ismene.
Sementara itu, raja Polibos (raja Korinthos yang disangka ayah oleh Oidipus) meninggal. Permaisurinya, Peiriboia memutuskan untuk membuka rahasia Oidipus. Ia menyuruh pembawa pesan memberitahu Oidipus di Thebes mengenai kematian Polibos dan asal-usul Oidipus. Setelah mengetahui hal yang sebenarnya, Iokaste kaget dan merasa malu, sampai dia pun menggantung dirinya sendiri, sementara Oidipus menusuk matanya hingga buta. Ia menyerahkan tahta kepada putra-putranya lalu mengutuk mereka bahwa mereka akan terlibat perang saudara. Ia kemudian disuir dari Thebes dan mengasingkan diri.

B. Analisis Cerita Odipus
Legenda Oedipus banyak diceritakan dalam berbagai versi dan kemudian digunakan oleh Sigmund Freud yang merupakan bapak psikologis analisis dari Austria untuk menamakan Oedipus Complex pada akhir tahun 1800-an. Ia mencetuskan istilah ini guna merujuk suatu tahapan perkembangan psikoseksual pada masa anak-anak di mana anak laki-laki  menganggap ayah mereka sebagai musuh dan saingan dalam meraih cinta secara eksklusif dari ibunya.
Sigmund Freud berpendapat bahwa setiap orang mengalami Oedipus Complex pada usia sekitar 2-5 atau 6 tahun dalam proses perkembangan psikologisnya. Freud melihat bahwa yang dialami oleh tokoh dalam mitos ini sama dengan yang terjadi pada perkembangan psikologis setiap orang. Bertens mendefinisikan konsep Freud tentang Oedipus Complex ini sebagai, “Keseluruhan pikiran dan perasaan—yang sebagian besar tak sadar—yang berkisar pada keinginan anak kecil untuk memiliki orang tua yang jenis kelaminnya berbeda dengan dia dan menyingkirkan orang tua yang jenis kelaminnya sama”. Bagi Freud, setiap orang mengalami fase cinta pada orang tua sendiri, yang kemudian diakhiri dengan sublimasi terhadap perasaan tersebut.
Oedipus complex terjadi pada yang dinamakan Freud fase phallic. Fase phallic merupakan masa anak-anak mulai menemukan kesenangan dengan alat kelamin mereka. Fase ini mengikuti fase oral dan anal, masa anak-anak menemukan kesenangan dengan mulut (oral) dan saluran pembuangan kotoran (anal). Jika pada fase oral dan anal kepuasan seksual anak hanya tertuju pada dirinya sendiri (otoerotisme) melalui organ-organ makan dan pembuangan, pada fase phallic anak mulai mengarahkan intensi seksualnya pada objek di luar dirinya, yaitu orangtua.
Menurut psikolog A. Kasandra, kecenderungan pria yang jatuh cinta kepada wanita yang lebih tua darinya merupakan perwujudan dari sebuah obsesi atas karakter ibunya. Kemungkinan sejak kecil si pria tersebut memiliki kedekatan secara emosional terhadap figur seorang ibu. Sehingga, secara tak langsung, alam bawah sadarnya merekam memori kasih sayang yang selama ini diberikan sang bunda.
Dan menurut Freud, perkembangan kepribadian seseorang berkaitan dengan perkembangan seksualitasnya. Kepribadian manusia dewasa ditentukan oleh perkembangan seksualitasnya sejak masa kanak-kanak. Freud mengakui adanya seksualitas pada anak-anak. Seksualitas ini tidak seperti yang terjadi pada orang dewasa. Seksualitas anak-anak tidak terhalang dengan aturan-aturan moral sehingga bentuknya, jika dinilai dari sudut pandang orang dewasa, tampak sebagai preversi. Seksualitas ini berlangsung secara tidak sadar.

Dari konsepnya tentang Oedipus Complex ini Freud berpendapat bahwa sebelum fase phallic setiap orang belum mengenal perbedaan psikoseksual dan tabu-tabu seksual. Barulah setelah tahap phallic seseorang mulai mengidentifikasi gendernya dan mensubstitusi cinta pada sesama jenis dan sehubungan darah kepada yang berbeda jenis dan tidak sehubungan darah. Ditambah lagi dengan ajaran-ajaran moral dan religius, setiap orang kemudian sampai pada tahap seksualitas dewasa. Namun, Freud mengingatkan bahwa gejala preversi seksual ini tidak sama sekali hilang dari diri orang dewasa. Meskipun telah mengalami represi secara intens, gejala-gejala tersebut masih tersisa di alam bawah sadar. 

1 komentar:

Resume Buku Struktur Fundamental Pedagogik "The World"

Dengan istilah “dunia” (the world), Freire merujuk kepada realitas budaya. Dunia bukan sebuah realitas yang sudah tersedia sebagaimana real...