Minggu, 10 Desember 2017

Penerapan Layanan Peer Conseling dalam proses Bimbingan Kelompok


Peran keluarga besar yang semakin menurun terhadap kemandirian keluarga menyebabkan disparitas peran orangtua dan siswa. Kesenjangan hubungan tersebut menyebabkan siswa yang berada pada tahap perkembangan remaja awal sampai dengan masa remaja akhir lambat dalam menemukan identitas diri akibat tuntutan kedewasaan yang semakin tinggi. Dalam  segala segi,  remaja  mengalami perubahan, dan  perubahan-perubahan yang sangat cepat sering menimbulkan kegoncangan dan ketidak-pastian. Goncangan dan ketidakpastian juga muncul dari lingkungan yang sedang dan akan terus cepat berubah. 
Dalam menghadapi badai perkembangan ("storm and stress") banyak remaja yang berhasil mengatasi berbagai rintangan. Mereka menjadikan rintangan dan berbagai kegagalan sebagai peluang dan tantangan untuk tetap bangkit meraih keberhasilan, membentuk kelompok sebaya untuk saling menguatkan,  dan pada akhirnya berhasil melaksanakan tugas-tugas perkembangan secara wajar.  Di pihak lain, banyak pula remaja yang gagal dan kandas terhempas ke dalam berbagai tingkah  laku menyimpang yang tidak sesuai dengan tugas-tugas perkembangan yang dituntut­kan kepadanya. Badai perkembangan dihayati sebagai suatu masalah yang tidak dapat dipecahkan, dan mereka larut dalam kegagalan. Seringkali kelompok individu ini juga larut dalam aktivitas kelompok sebaya yang kurang positif.
Merujuk pada hal tersebut di atas, maka kedudukan konselor sebaya diharapkan mampu mengurangi tingkat stress siswa baik karena tuntutan akademik maupun non akademik, sehingga siswa dapat menyesuaikan diri dan memecahkan permasalahan hidupnya secara mandiri pada akhirnya. Konselor sebaya merupakan model konseling yang mengadaptasi model pembelajaran “Tutor Sebaya”. Konselor sebaya adalah model konseling melalui optimalisasi potensi siswa yang memiliki kemampuan konseling. Dalam model ini, siswa yang memiliki kemampuan konseling dijadikan sumber belajar (konselor) bagi siswa lain yang memiliki permasalahan-permasalahan tertentu.
Model konselor sebaya memanfaatkan peran siswa untuk menjadi mitra belajar menyelesaikan masalah bagi rekan-rekan sesama siswa, atau pihak lain yang hampir sama secara psikologis (sebaya). Model ini diilhami oleh model pembelajaran co-operative learning dan collaborative learning. Melalui model konselor sebaya jarak antara siswa yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan konseling (konselor), dengan siswa yang memiliki masalah dapat didekatkan. Sehingga hambatan psikologis sosiologis yang menyebabkan siswa tertekan dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan.
Siswa yang memiliki masalah akan lebih mudah berdiskusi dan bertanya kepada teman yang berkemampuan lebih (konselor). Model ini juga dapat menghindari kefrustrasian siswa yang menyukai tantangan (bagi siswa yang akan berperan sebagai konselor), karena siswa tersebut mendapat tantangan yang lebih banyak untuk membantu teman lainnya yang kurang mampu memecahkan masalahnya sendirian. Dia merasa mendapatkan kepercayaan dan perhatian sehingga merasa lebih diberdayakan. Perasaan semacam ini diharapkan dapat memacu dan menumbuhkan semangat untuk berprestasi yang lebih baik, sehingga muncul konselor-konselor sebaya yang berkompeten.
Namun demikian, dalam praktiknya tentu saja siswa yang mendapatkan label sebagai konselor sebaya, haruslah mengetahui terlebih dahulu hal-hal pokok yang perlu dilakukan dalam konseling. Mengingat, bahwa apa yang terjadi dalam konseling tidak semuanya sama seperti hal-hal yang dilakukan dalam kegiatan berbagi cerita atau curhat dalam kehidupan sehari-hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Resume Buku Struktur Fundamental Pedagogik "The World"

Dengan istilah “dunia” (the world), Freire merujuk kepada realitas budaya. Dunia bukan sebuah realitas yang sudah tersedia sebagaimana real...