Peran
keluarga besar yang semakin menurun terhadap kemandirian keluarga menyebabkan
disparitas peran orangtua dan siswa. Kesenjangan hubungan tersebut menyebabkan
siswa yang berada pada tahap perkembangan remaja awal sampai dengan masa remaja
akhir lambat dalam menemukan identitas diri akibat tuntutan kedewasaan yang
semakin tinggi. Dalam segala segi, remaja
mengalami perubahan, dan
perubahan-perubahan yang sangat cepat sering menimbulkan kegoncangan dan
ketidak-pastian. Goncangan dan ketidakpastian juga muncul dari lingkungan yang
sedang dan akan terus cepat berubah.
Dalam
menghadapi badai perkembangan ("storm and stress") banyak remaja yang
berhasil mengatasi berbagai rintangan. Mereka menjadikan rintangan dan berbagai
kegagalan sebagai peluang dan tantangan untuk tetap bangkit meraih
keberhasilan, membentuk kelompok sebaya untuk saling menguatkan, dan pada akhirnya berhasil melaksanakan
tugas-tugas perkembangan secara wajar.
Di pihak lain, banyak pula remaja yang gagal dan kandas terhempas ke
dalam berbagai tingkah laku menyimpang
yang tidak sesuai dengan tugas-tugas perkembangan yang dituntutkan kepadanya.
Badai perkembangan dihayati sebagai suatu masalah yang tidak dapat dipecahkan,
dan mereka larut dalam kegagalan. Seringkali kelompok individu ini juga larut
dalam aktivitas kelompok sebaya yang kurang positif.
Merujuk
pada hal tersebut di atas, maka kedudukan konselor sebaya diharapkan mampu
mengurangi tingkat stress siswa baik karena tuntutan akademik maupun non
akademik, sehingga siswa dapat menyesuaikan diri dan memecahkan permasalahan
hidupnya secara mandiri pada akhirnya. Konselor sebaya merupakan model
konseling yang mengadaptasi model pembelajaran “Tutor Sebaya”. Konselor sebaya
adalah model konseling melalui optimalisasi potensi siswa yang memiliki
kemampuan konseling. Dalam model ini, siswa yang memiliki kemampuan konseling
dijadikan sumber belajar (konselor) bagi siswa lain yang memiliki
permasalahan-permasalahan tertentu.
Model
konselor sebaya memanfaatkan peran siswa untuk menjadi mitra belajar
menyelesaikan masalah bagi rekan-rekan sesama siswa, atau pihak lain yang
hampir sama secara psikologis (sebaya). Model ini diilhami oleh model
pembelajaran co-operative learning dan collaborative learning. Melalui model
konselor sebaya jarak antara siswa yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan
konseling (konselor), dengan siswa yang memiliki masalah dapat didekatkan.
Sehingga hambatan psikologis sosiologis yang menyebabkan siswa tertekan dapat
dikurangi atau bahkan dihilangkan.
Siswa
yang memiliki masalah akan lebih mudah berdiskusi dan bertanya kepada teman
yang berkemampuan lebih (konselor). Model ini juga dapat menghindari
kefrustrasian siswa yang menyukai tantangan (bagi siswa yang akan berperan
sebagai konselor), karena siswa tersebut mendapat tantangan yang lebih banyak
untuk membantu teman lainnya yang kurang mampu memecahkan masalahnya sendirian.
Dia merasa mendapatkan kepercayaan dan perhatian sehingga merasa lebih
diberdayakan. Perasaan semacam ini diharapkan dapat memacu dan menumbuhkan
semangat untuk berprestasi yang lebih baik, sehingga muncul konselor-konselor
sebaya yang berkompeten.
Namun
demikian, dalam praktiknya tentu saja siswa yang mendapatkan label sebagai
konselor sebaya, haruslah mengetahui terlebih dahulu hal-hal pokok yang perlu
dilakukan dalam konseling. Mengingat, bahwa apa yang terjadi dalam konseling
tidak semuanya sama seperti hal-hal yang dilakukan dalam kegiatan berbagi
cerita atau curhat dalam kehidupan sehari-hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar